Rabu, 23 November 2011

Pendidikan Pesantren; Sebagai Sebuah Harapan

           Oleh: M. Kholis Hamdi (Mabinkom PMII Komfakda)

Kita masih mengingat ketika Negara Jepang hancur luluh lantah paska sekutu membom Hiroshima dan Nagasaki. Mereka baru bisa merasakan buah dari jerih payah dalam membangun infrastruktur pendidikan setelah menunggu lebih dari beberapa dasawarsa. Namun, dampak investasi yang dipetik Jepang tersebut sangatlah fantastis; mereka mampu menyaingi negara-negara Eropa dan Amerika dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lembaga pendidikan adalah titik awal dalam usaha kesejahteraan yang diupayakan oleh manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa jika tingkat dan kualitas pendidikan rakyat terjamin, maka dengan sendirinya keberkahan dan kesejahteraan akan mengikuti karena pendidikan memiliki peran penting dalam usaha pemerintah dan masyarakat membangun peradaban bangsa.
Dari contoh di atas, hasil yang dipetik dari proses pendidikan tidaklah instant, artinya investasi ini terpetik hasilnya dalam jangka waktu yang panjang. Itulah mengapa pendidikan merupakan sebuah investasi panjang bangsa dalam merencanakan kemajuan di masa yang akan datang. Inipun akan berhasil kalau pemerintah mampu mensinergikan antara pembangunan dalam bidang pendidikan dengan pembangunan di bidang lain seperti ekonomi, politik, sosial, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lainnya.
Selayaknya satuan atau lembaga pendidikan secara filosofis bukanlah lembaga profit yang bertujuan untuk mencari keuntungan dari proses pendidikan dan pengajaran. Lembaga pendidikan dalam berbagai macam bentuknya adalah lembaga sosial yang melakukan pelayanan sosial dalam menyediakan pendidikan bagi masyarakat. Maka apabila ada sebuah lembaga pendidikan yang berposisisi sebagai lembaga profit dan membanderol SPP mahal sebagai imbalan dari proses pendidikan yang diberikan, maka hal tersebut telah bergeser dari landasan filosofis dari pendidikan itu sendiri.
Fenomena yang berkembang sekarang adalah maraknya sekolah-sekolah; baik itu negeri maupun swasta, mulai dari TK hingga perguruan tinggi, yang memberikan bandrol mahal dalam melaksanakan roda pendidikannya. Sekolah-sekolah macam ini berlomba-lomba untuk memberikan harga ‘tinggi’ untuk menjamin kualitas proses pendidikan. Uniknya, sekolah macam ini tidak miskin peminat. Bahkan, mereka harus melakukan ujian saringan untuk mengimbangi minat para orang tua dengan kapasitas kursi yang tersedia.
Sekolah-sekolah yang membandrol biaya mahal berpendapat bahwa kualitas pendidikan berbanding lurus dengan biaya yang ditawarkan. Biaya pendidikan tersebut sebagian besar dialokasikan untuk menjamin kesejahteraan tenaga pendidik dan kelengkapan fasilitas pendidikan. Tanpa bisa menjamin kedua faktor tersebut, kualitas sebuah lembaga pendidikan tidak akan pernah baik. Namun sayangnya, yang harus menjamin kedua hal tersebut adalah orang tua peserta didik (customer) dalam bentuk SPP yang mahal.
Dalam Islam, belajar atau menuntut ilmu adalah wajib. Hal ini merujuk kepada hadits Nabi Muhammad SAW yang menunjukan bahwa mencari ilmu adalah faridlhoh bagi setiap muslim dan muslimat. Menuntut ilmu bukanlah sebuah prestige tapi merupakan sebuah tuntunan agama agar kita bisa berfungsi sebagai khalifah di muka bumi dengan sebaik mungkin. Sifat kehidupan sementara di bumi merupakan sebuah pesan jelas bahwa ilmu apapun bentuknya harus berorientasi sebuah investasi akhirat juga. Esensi ini yang seakan memudar dalam pikiran dan benak kita. Pendidikan seolah dijadikan sebagai pabrik penghasil manusia (SDM) yang siap kerja (produk). Tidak ada salahnya memandang pendidikan secara mekanistik. Tapi, titik tekan sebagai sebuah proses yang berkesinambungan dalam perjalanan hidup seakan dinafikan begitu saja. Ekpektasi orang tua terhadap anak-anak mereka untuk mendapatkan kehidupan lebih baik dari mereka juga tidak salah. Namun, kepercayaan membabi buta terhadap institusi sosial ini membuat mereka lupa bahwa sebuah proses pendidikan yang paling efektip dimulai dari inti terkecil masyarakat itu sendiri; keluarga.
Akhirnya, persepsi yang timbul di masyarakat adalah semakin mahal ongkos pendidikan semakin berkualitas hasil pendidikan terhadap anak-anak mereka. Fakta menunjukkan bahwa lembaga mahal bukanlah jaminan keberhasilan individu. Figur-figur di tingkat nasional; baik politisi, akademisi, tokoh-tokoh agama dan masyarakat dihasilkan tidak semuanya dari lembaga pendidikan yang mahal.
Sayogyanya pendidikan itu menjadi hal yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat atau dengan kata lain murah bahkan kalau bisa tidak dibebankan biaya sama sekali. Berjamurannya sekolah-sekolah berlabel Islam di Indonesia ini adalah berkah dari reformasi yang membuka kran kebebasan selebar-lebarnya bagi rakyat Indonesia untuk mengekspresikan keyakinan mereka. Sekolah-sekolah berlabel Islam sebagian besar maju dalam kuantitas sedangkan kualitas masih kalah bersaing dengan sekolah-sekolah negeri maupun misionaris Kristen meskipun dalam beberapa kasus ada beberapa sekolah berlabel Islam yang menjadi leading di daerahnya masing-masing karena kualitas yang ditawarkan pada masyarakat.
Fenomena lembaga pendidikan berlabel Islam menyisakan banyak pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar terutama bagi Nahdlatul Ulama khususnya LP Maarif NU. Apakah memang benar lembaga pendidikan kita mengusung nilai-nilai keislaman dalam menjalankan roda pendidikannya sehingga layak disebut sebagai lembaga pendidikan Islam (Islamic educational institution) atau justru hanya merupakan kumpulan para pendidik yang beragamakan Islam dan bersiswakan Muslim dan menomorduakan nilai-nilai Islam sehingga lebih pantas disebut sebagai lembaga pendidikan Muslim (Muslim education institution)? Nampaknya hal ini memerlukan penelaahan yang lebih dalam agar kebahagiaan kita dengan fenomena menjamurnya sekolah berlabel Islam tidak menjadi semu dan sia-sia belaka.
Penelaahan pertama tentang sekolah Islam harus diarahkan pada nilai-nilai yang diusung oleh suatu lembaga pendidikan yang meliputi: visi, misi dan tujuan. Sebagaimana kita ketahui bahwasanya nilai-nilai yang dimiliki sebuah lembaga pendidikan adalah potret mendasar yang menjiwai seluruh aktivitasnya. Nilai-nilai tersebut adalah ruh atau jiwa dari seluruh warga sekolah. Tatkala ruh yang terkandung di dalamnya telah rusak, maka sudah dapat ditebak bahwa seluruh komponen lainnya dari lembaga pendidikan tersebut akan otomatis rusak dan berimplikasi langsung terhadap outcome dan outputnya.
Dari pelbagai pandangan filsafat pendidikan Islam seperti Perenial-Esensialis Salafi, Perenial-Esensialis Mazhabi, Modernis, Perenial-Esensialis Kontekstual Falsifikatif dan Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid yang diklasifikasikan oleh Prof. Muhaimin dalam bukunya yang berjudul Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, bagi saya lebih condong kepada yang terakhir karena lebih menonjolkan sikap proaktif dan antisipatif, sehingga tugas pendidikan difungsikan untuk membantu agar manusia menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, maka fungsi pendidikan Islam adalah sebagai upaya menumbuhkan kreativitas peserta didik, memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai insani dan Illahi, serta menyiapkan tenaga kerja produktif.
Tentunya, terlepas dari pandangan mana yang dianut oleh suatu lembaga pendidikan, sebagai turunan dari pelbagai pandangan filsafat pendidikan Islam, nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah lembaga pendidikan menjadi penting karena merupakan pengejawantahan dari grand design filsafat pendidikan Islam di atasnya. Tatkala sebuah lembaga pendidikan Islam ternyata memasukan unsur nilai yang tidak sesuai dengan filsafat pendidikan Islam, tentunya kita tidak dapat serta merta menyebut sekolah tersebut sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam. Sinkronisasi antara nilai-nilai lembaga pendidikan dengan filsafat pendidikan Islam mutlak terjadi karena bila hal itu gagal dilakukan maka jiwa dari lembaga pendidikan tersebut telah tercerabut.
Setelah penelaahan terhadap nilai-nilai lembaga pendidikan sebaiknya dilakukan, maka kita lanjutkan dengan meneliti kurikulum mata pelajaran yang ditransferkan kepada peserta didiknya. Seringkali kita menemukan sekolah Islam yang ada di Indonesia belum mampu mentransformasikan nilai Islam ke dalam kurikulum yang mereka berikan kepada peserta didiknya. Sungguh tragis ketika kita dengan mudah menemukan para pelajar Islam tercerabut dari akar-akar keislaman mereka justru di lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Pandangan inilah yang mengharuskan kita kembali melihat akar dari pendidikan Islam yang masyarakat NU miliki sehingga kita tidak terjebak dengan pelbagai paradigma dan pendekatan dalam usaha penyelenggaraan pendidikan. Pondok pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang memiliki ciri-ciri khas yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya di dunia. Salah satu kekhasan yang dimilikinya adalah melekatnya peran para kyai sebagai tokoh sentral di dalamnya. Mereka mendapatkan keistimewaan lebih karena biasanya kyai adalah pendiri atau keturunan dari pendiri pondok pesantren yang dengan ikhlas tanpa pamrih membangun pondok pesantren untuk kemajuan ummat. Jarang dari mereka yang memiliki ambisi duniawi ketika membangun pondasi pondok pesantren.
Sentral yang kedua yang tidak dapat dipisahkan dari pondok pesantren adalah masjid. Dalam hal ini masjid berfungsi sebagai pusat kegiatan santri, para penghuni pondok pesantren. Masjid di pesantren berfungsi tidak hanya untuk amalan-amalan ukhrowi saja, tapi juga sebagai pusat ekonomi, pembelajaran, dan pemberdayaan. Maka biasanya bangunan yang pertama kali ada dalam sebuah pondok pesantren haruslah masjid, meskipun di kemudian hari tradisi ini mulai berubah.
Pondok pesantren lekat sekali dengan pengkajian ilmu-ilmu ketuhanan (divinity). Para santri bertafaqquh fiddin agar mereka dapat menjadi penyeru bagi ummat-ummatnya. Selain itu, ilmu-ilmu kauniyah pun tidak luput dari kajian mereka. Mereka belajar tauhid, fiqh, al-quran, assunah, sekaligus astronomi, fisika, biologi, kimia, ekonomi, sejarah dan disipilin ilmu lainnya. Dalam dunia pondok pesantren tidak dikenal dikotomi ilmu. Yang ada adalah kesadaran bahwa semua ilmu sumbernya satu: al-‘Alim, Yang Maha Mengetahui. Tentunya ilmu ketuhanan memiliki porsi lebih, hal ini karena berkaitan dengan jenjang prioritas dalam pengklasifikasian ilmu.
Satu hal kekhasan yang dimiliki oleh pesantren dan sangat sulit ditiru oleh lembaga pendidikan lainnya adalah kuatnya usaha penanaman akhlak-akhlak terpuji. Label santri pun secara lahiriyah telah identik dengan kesalehan, baik itu secara individu maupun sosial. Hal ini wajar, karena usaha pembiasaan aplikasi akhlak terpuji telah mendarah daging dalam dunia pendidikan pondok pesantren. Kyai sebagai sentral figur di dalamnya memberikan uswah dan qudwah hasanah dalam pendidikan akhlak. Karena penanaman akhlak lebih mengena dengan perbuatan daripada penjejalan materi di dalam kelas, maka pendidikan akhlak di pondok pesantren sangat mengena di benak para santrinya. Itu pulalah ternyata yang menginspirasi Kemendiknas RI untuk memasukan unsur-unsur pendidikan karakter di sekolah-sekolah, yang diakui terinspirasi dari pendidikan akhlak pondok pesantren.
Karena kekhasannya ini pulalah yang membuat pendidikan pondok pesantren memiliki keunggulan dari macam pendidikan konvensional lainnya. Pendidikan pondok pesantren unggul karena corak pendidikannya yang integratif, tidak parsial. Pola pendidikan holisitik yang diterapkan di lembaga ini telah berjalan lebih dari ratusan tahun dan berhasil mencetak kader-kader bangsa yang ikut andil dalam melahirkan negara ini.
Pendidikan integral pondok pesantren meliputi ranah kurikulum dan aktivitas. Para santri tidak hanya belajar ilmu-ilmu ketuhanan, tapi mereka mengkaji ilmu-ilmu yang memungkinkan mereka bereksplorasi di dunia seperti ilmu alam dan ilmu sosial. Bedanya, pendekatan pengkajian ilmu-ilmu kauniyah tersebut tidak melalui pendekatan sekuleristik di mana ilmu dikeluarkan dari fitrahnya, tapi mereka melakukannya sebagai upaya mengenal bukti-bukti keagungan Allah. Semakin mereka mengetahui rahasia di balik alam semesta, mereka semakin percaya bahwa Allah adalah Sang Maha Agung. Pendekatan ini memberi kekhasan pula akan kesalehan santri dalam semua aspek termasuk dalam ranah intelektual.
Aspek keterpaduan pondok pesantren juga terlihat dalam totalitas kegiatan yang ada di dalamnya. Kegiatan-kegiatan para santri tidak hanya bersangkut paut dengan dunia ragawi tapi juga dunia rohani. Mereka mengasah raga dengan bermain sepak bola dan kalbu dengan shalat lima waktu berjamaah. Mereka melatih kepemimpinan dengan berbagai macam kegiatan keorganisasian, dan dalam waktu yang bersamaan mengerjakan puasa sunnah Senin-Kamis. Begitu seterusnya. Pendidikan pesantren tidak akan pernah parsial tapi senantiasa holistik meliputi pendidikan jasmani, rohani, indrawi, intelektual, emosional dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena pendidikan pondok pesantren selalu terpadu dan merujuk konsep pendidikan hakiki.
Maka wajar karena pendidikan yang dilaksanakan di pondok pesantren adalah pendidikan holistik, maka manusia yang ingin dihasilkan konsep manusia sempurna (insan kamil). Kalau ada diantara mereka setelah mengenyam pendidikan pesantren menjadi ilmuwan, maka mereka diharapakan akan menjadi ilmuwan yang santri dengan atribut ke’saleh’annya. Pun, ketika mereka ditakdirkan untuk menjadi pejabat negara, ada harapan kuat mereka akan menjadi pejabat yang amanah, adil dan bersedia banting tulang untuk menyejahterakan rakyat. begitu dan seterusnya.
Filosofi pendidikan pesantren merupakan salah satu local value yang inherent sudah menjadi bagian kultur pendidikan dan masyarakat Indonesia. Di masa kini, tantangan terhadap dunia pendidikan Indonesia memang berat karena perubahan dan pengaruh paradigma sistem pendidikan a la barat yang sudah kasat menjadi bagian dari sistem pendidikan kita. Persoalannya bukan pada penolakan; tapi terletak pada transformasi dari sebuah keadaan sehingga muncul sebuah akulturasi nilai pendidikan yang ‘pas’ bagi karakter manusia Indonesia. Sehingga upaya menumbuhkan kreativitas peserta didik, memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai insani dan Illahi, serta menyiapkan SDM yang produktip-manfaat bisa terwjud. Juga, sebagai sebuah alat pembangunan, sudah selayaknya pula, pendidikan, yang diamanatkan oleh UU, bukan menjadi barang yang mahal bagi rakyat Indonesia. Dalam hal ini, sistem pendidikan pesantren diharapkan tetap berusaha menjadi salah satu contoh baik sebagai institusi sosial dan investasi jangka panjang dalam membangun bangsa dengan terus berkreasi dan bertranformasi tanpa harus menanggalkan pondasi kuat filosofi pendidikan kepesantrananya, tentunya dengan biaya yang terjangkau jika mungkin, gratis.
Wallhu a'lam

Kp. Utan, Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar